Dua langkah inovatif dilakukan Toya Devasya serangkaian ulang tahun yang ke-22 yang dirayakan pada Jum’at (19/7). Obyek Wisata yang berada di Kintamani, Bangli itu meluncurkan program digitalisasi bisnis serta pengembangan storynomics atau wisata narasi.
“Ini sesuai dengan visi kami untuk selalu selangkah berada di depan,” kata pendiri To Devasya, I Ketut Mardjana.
Program digitalisasi dilakukan dengan membangun website yang mengintegrasikan semua layanan Toya Devasya mulai pemesanan tiket, pembayaran hingga layanan pemesanan menu di restoran itu. Sementara bagi manajemen, digitalisasi menyediakan data-data yang terkini dan terupdate sehingga memudahkan pengontrolan bisnis dan penyusunan strategi pengembangan bisnis.
Proses digitalisasi melibatkan konsultan teknologi informasi Harland Firman Agus yang membangun sistem dari awal dan melakukan kustomasi berdasarkan informasi dari pihak Toya.
“Tentunya kami juga menyiapkan standar security agar layanan ini memberikan keamanan dan kenyaman bagi customer,” sebut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bangli itu.
Terkait dengan keberadan aplikasi-aplikasi online untuk pemesanan tiket, Marjana menyatakan, tidak akan merubah kerjasama yang sudah terjalin selama ini. Pihaknya mengedepankan kolaborasi yang saling menguntungkan di antara berbagai pihak.
Menanggapi kerjasama itu, Harland Firman Agus menyebutnya sebagai proyek yang sangat menantang. Selama ini, jelasnya, mereka telah banyak melakukan digitalisasi namun sebatas untuk layanan Food and Beverage di sejumlah restoran.
“Sekarang ini adalah proyek untuk industri hospitality yang lebih luas dimana ada layanan hotel, fasilitas wisata unik pemandian air panas, camping ground dan berbagai fasilitas lainnya,” sebutnya.
Tentang Storynomics
Selain launching Go Digital , Toya Devasya juga menggeber program storynomics atau wisata narasi. Langkah ini ditandai dengan peluncuran buku berjudul Eat, Play, Love yang ditulis oleh Andre Syahreza.
Buku ini bukan hanya mengungkapkan sejarah berdirinya obyek wisata itu, tetapi menggali lebih luas latar belakang dan kaitannya dengan linkungan alam dan budayanya. Misalnya, mengenai keberadaan gunung batur, danau kintamani serta cerita rakyat lokal mengenai raja Bali yang menikah dengan putri Kan Cing Wei dari negeri China.
Menurut Andre, kisah-kisah semacam ini sangat penting untuk mengedukasi wisatawan lebih memahami keberagaman budaya dan tak sekedar menikmati obyek tertentu. “Jadi mereka akan datang karena narasi membuat mereka memiliki kedekatan emosional,” katanya.
Sementara Dee Lestari yang hadir saat peluncuran menyatakan, storynomics membuat orang tidak hanya mengetahui tentang data dan fakta tetapi mampu mengajak ornag itu untuk datang dan terlibat di sebuah lokasi.
“Ini yang harus kita ciptakan dan segarkan terus, apalagi di era medsos ini dimana setiap orang bisa membuatnya narasinya sendiri-sendiri,” sebutnya.
Ketut Marjana menyatakan, buku itu bisa menjadi warisan bagi anak cucu agar nilai perjuangan yang sudha pernah dilakoni bisa diwarisi oleh anak cucunya. Dia mengenang kondisi dirinya yang lahir di Kintamani, Bangli dalam kondisi kemiskinan. Namun dengan tekat yang kuat akhirnya menempuh pendidikan ke Pulau Jawa sampai akhirnya berhasil menduduki jabatan Dirut PT Pos.
Setelah berada di puncak karir itu, dia kemudian pulang kampung membangun Toya Devasya sebagai salah-satu cara untuk membayar hutang budi pada kampung halamannya. “Saya selalu ingat saat berangkat pertama ke Jawa, semua tetangga dan orang kampung membekali saya dengan apa yang mereka miliki,” kenang Marjana. Dia juga banyak membantu pengembangan kawasan wisata di Batur, Kintamani itu agar makin banyak mendatangkan wisatawan.
Penulis : Haris Kurniawan